Sunday, April 26, 2015

Jual Buku Bukan Pasar malam oleh Pramoedya Ananta Toer

Judul : Bukan Pasarmalam
Penulis : Pramoedya Ananta Toer (1951)
Penerbit : Lentera Dipantara
Edisi : Cetakan 6, Mei 2007
Format : Paperback, 106 halaman
Harga Rp 25.000 [belum ongkos kirim]
 
“Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam.” (hal.95)

Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana… (hal. 103-104)

Buku ini mengisahkan tentang seorang anak yang diminta pulang karena ayahnya sakit keras. Saat itu adalah masa-masa peralihan, dimana setelah kemerdekaan tercapai, namun bagi sang anak—tokoh ‘aku’—maupun keluarganya, masa kemerdekaan tak seperti yang mereka bayangkan saat mereka berjuang untuk meraihnya. Di sinilah kita diajak untuk ‘mengikuti’ pertempuran batin tokoh ‘aku’; tentang kehidupannya, tentang hubungannya dengan ayah dan adik-adiknya, tentang masyarakat dan negaranya.

Untuk berangkat dari Jakarta ke Blora, ‘aku’ harus mencari hutang dan meninggalkan pekerjaannya. Perjalanan Jakarta-Blora dengan kereta api memunculkan kembali ingatan-ingatan ‘aku’ selama masa perjuangan, ingatan ‘aku’ terhadap hubungannya dengan keluarga, terutama sang ayah, dan kekhawatiran akan keadaan ayahnya saat itu.

Bukankah hidup manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan tanah merah itu? (hal.12)

Kekhawatiran ‘aku’ bukan tanpa alasan. Ayahnya telah lemah termakan penyakitnya, sedangkan untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik, jalan yang harus dilalui sungguh sulit. Di samping masalah ekonomi, masalah prinsip dan birokrasi juga membuat kesulitan yang seharusnya tak ada.

Perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku tidak suka menjadi badut—sekalipun badut besar. (hal.65)

Dan hidup bukannya semakin mudah bagi keluarga ‘aku’ di masa kemerdekaan. Pada masa perang, mereka berjuang demi negara dan masyarakat, mengorbankan diri sendiri dan keluarga. Namun tidak ada yang ‘menganggap’ segala pengorbanan itu. Baik itu orang-orang di sekitar mereka maupun pemerintah.

“Limabelas-duapuluh kilometer mengayuh sepeda itu bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang berat ialah mengajar, menelan pahit-getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orangtua si murid. Itulah yang gampang sekali menghancurkan seorang guru.” (hal. 53)

“Dunia ini memang aneh, Adikku, kalau suatu keluarga itu bisa timbul mengatasi keluarga-keluarga yang lain, orang-orang menjadi dengki. Ada saja mereka punya bahan untuk memaki dan menghina-hinakan di belakang layar. Tapi ada sebuah keluarga yang runtuh, ramai-ramai orang menyoraki dan turut meruntuhkannya. Aku tahu, Adikku, inilah adat di kota kecil. Karena, Adikku, penduduk kota kecil ini tak mempunyai perhatian apa-apa selain dirinya sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Lain dengan di kota besar. Banyak yang masuk ke dalam perhatian mereka. Karena itu, Adikku, lebih baik engkau jangan turut campur dalam kepentingan-kepentingan mereka.” (hal. 61)

Buku ini mencerminkan sebuah potret manusia dengan segala baik-buruknya. Pengorbanan, egoisme, individualisme, patriotisme, manis dan pahit yang dirasakan seseorang yang merupakan akibat dari pilihan hidup yang dijalaninya. Tapi apakah penting bagaimana imbal balik yang didapat, sementara manusia seringkali salah menilai manusia lain?

Dan kuburan yang telah delapan tahun tak pernah kulihat lagi itu kini telah penuh oleh kuburan baru—kuburan mereka yang dianggap pahlawan. Dan di antara kuburan mereka yang dianggap pahlawan itu ada juga terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan termasuk juga dalam golongan pahlawan. (hal.98)

Buku tipis yang mengandung banyak nilai, dirangkum dalam bahasa sastra klasik Indonesia ala Pram. Melalui perjalanan dan pergolakan nurani seorang ’aku’. 4/5 bintang untuk manis pahit kehidupan.

“Perang ini menyuruh manusia mendekati dirinya sendiri. Karena, Adikku, dalam diri sendiri itu terletak segala-galanya yang ada di dunia, yang dirasakan juga oleh tiap orang.” (hal.60)

No comments:

Post a Comment