Penulis : Pramoedya Ananta Toer (1951)
Penerbit : Lentera Dipantara
Edisi : Cetakan 6, Mei 2007
Format : Paperback, 106 halaman
Harga Rp
25.000 [belum ongkos kirim]
“Mengapa orang ini
tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti
Pasarmalam.” (hal.95)
Dan di dunia ini,
manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali
pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang
belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana…
(hal. 103-104)
Buku ini mengisahkan
tentang seorang anak yang diminta pulang karena ayahnya sakit keras. Saat itu
adalah masa-masa peralihan, dimana setelah kemerdekaan tercapai, namun bagi sang
anak—tokoh ‘aku’—maupun keluarganya, masa kemerdekaan tak seperti yang mereka
bayangkan saat mereka berjuang untuk meraihnya. Di sinilah kita diajak untuk
‘mengikuti’ pertempuran batin tokoh ‘aku’; tentang kehidupannya, tentang
hubungannya dengan ayah dan adik-adiknya, tentang masyarakat dan
negaranya.
Untuk berangkat dari
Jakarta ke Blora, ‘aku’ harus mencari hutang dan meninggalkan pekerjaannya.
Perjalanan Jakarta-Blora dengan kereta api memunculkan kembali ingatan-ingatan
‘aku’ selama masa perjuangan, ingatan ‘aku’ terhadap hubungannya dengan
keluarga, terutama sang ayah, dan kekhawatiran akan keadaan ayahnya saat
itu.
Bukankah hidup
manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan
tanah merah itu? (hal.12)
Kekhawatiran ‘aku’
bukan tanpa alasan. Ayahnya telah lemah termakan penyakitnya, sedangkan untuk
mendapatkan perawatan yang lebih baik, jalan yang harus dilalui sungguh sulit.
Di samping masalah ekonomi, masalah prinsip dan birokrasi juga membuat kesulitan
yang seharusnya tak ada.
Perwakilan
rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku tidak suka menjadi
badut—sekalipun badut besar. (hal.65)
Dan hidup bukannya
semakin mudah bagi keluarga ‘aku’ di masa kemerdekaan. Pada masa perang, mereka
berjuang demi negara dan masyarakat, mengorbankan diri sendiri dan keluarga.
Namun tidak ada yang ‘menganggap’ segala pengorbanan itu. Baik itu orang-orang
di sekitar mereka maupun pemerintah.
“Limabelas-duapuluh
kilometer mengayuh sepeda itu bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang berat
ialah mengajar, menelan pahit-getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orangtua
si murid. Itulah yang gampang sekali menghancurkan seorang guru.” (hal.
53)
“Dunia ini memang
aneh, Adikku, kalau suatu keluarga itu bisa timbul mengatasi keluarga-keluarga
yang lain, orang-orang menjadi dengki. Ada saja mereka punya bahan untuk memaki
dan menghina-hinakan di belakang layar. Tapi ada sebuah keluarga yang runtuh,
ramai-ramai orang menyoraki dan turut meruntuhkannya. Aku tahu, Adikku, inilah
adat di kota kecil. Karena, Adikku, penduduk kota kecil ini tak mempunyai
perhatian apa-apa selain dirinya sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Lain
dengan di kota besar. Banyak yang masuk ke dalam perhatian mereka. Karena itu,
Adikku, lebih baik engkau jangan turut campur dalam kepentingan-kepentingan
mereka.” (hal. 61)
Buku ini
mencerminkan sebuah potret manusia dengan segala baik-buruknya. Pengorbanan,
egoisme, individualisme, patriotisme, manis dan pahit yang dirasakan seseorang
yang merupakan akibat dari pilihan hidup yang dijalaninya. Tapi apakah penting
bagaimana imbal balik yang didapat, sementara manusia seringkali salah menilai
manusia lain?
Dan kuburan yang
telah delapan tahun tak pernah kulihat lagi itu kini telah penuh oleh kuburan
baru—kuburan mereka yang dianggap pahlawan. Dan di antara kuburan mereka yang
dianggap pahlawan itu ada juga terdapat bajingan yang karena salah penyelidikan
termasuk juga dalam golongan pahlawan. (hal.98)
Buku tipis yang
mengandung banyak nilai, dirangkum dalam bahasa sastra klasik Indonesia ala
Pram. Melalui perjalanan dan pergolakan nurani seorang ’aku’. 4/5 bintang untuk
manis pahit kehidupan.
“Perang ini menyuruh
manusia mendekati dirinya sendiri. Karena, Adikku, dalam diri sendiri itu
terletak segala-galanya yang ada di dunia, yang dirasakan juga oleh tiap orang.”
(hal.60)
No comments:
Post a Comment